Thursday, April 25, 2013

Hello Goodbye


Jadi, menikah itu rasanya lega. Titik.

Kalau saya sih, merasanya, setelah melewati segala rangkaian acara pernikahan mulai dari pengajian, upacara adat, akad nikah, sampai resepsi, itu apa ya, semacam rangkaian ungkapan syukur kepada Tuhan yang gak habis-habis.
Tapi yang jelas, ada beberapa hal di rangkaian menjelang acara ini yang saya rasa, Tuhan sengaja menunjukkan ke saya untuk pembelajaran. Dan itu yang mau saya share di blog ini.

Bahwa :

Just follow your heart. Dulu di awal saya juga banyak tanya kiri kanan gimana persiapan orang-orang, terus banyak searching dari internet tentang vendor ini itu, tentang konsep ini itu. Tapi pada akhirnya, yang sreg di hati aja yang saya pilih. Orang lain boleh banget kasih masukan, terima-terima aja, tapi kalau gak sesuai, ya jangan diikutin. Karena at the end, rasanya tuh beda antara menjalankan sesuatu berdasarkan pilihan orang dan pilihan hati sendiri.

Dulu juga, waktu di awal, saya dan sahabat saya yang juga mau menikah di tahun yang sama sempet bimbang, apakah mau pakai jasa wedding organizer (WO) atau tidak. Bukan apa-apa, manusiawi banget  kalau di saat sudah mentok dan capek dan pusing sedangkan banyak banget yang masih harus dilakuin, kita jadi kepengen banget rasanya ambil jalan pintas. Tapi kok ya setelah disurvei kiri kanan, konsep WO kebanyakan itu gak sesuai kayak yang kita mau. Jadi seolah-olah itu acaranya si WO bukan acara kita. Kalaupun total mau ikut konsep kita, tetep kepentok budget tinggi dimana gak masuk akal banget dan ya mau gak mau akhirnya balik lagi, harus ikut rule-nya si WO. Dan akhirnya sekarang setelah saya ngerasain dan sudah jalanin semuanya all by ourselves, lagi-lagi, puasnya tak terkira.

TAPI, bukan berarti saya gak setuju ya sama konsep WO dan orang-orang yang pilih pake WO dalam mempersiapkan acaranya. Mungkin kalau kondisi keuangan saya berlebih dan waktu saya yang terbatas, saya juga akan pakai WO kok. Ya, ini sih balik lagi, karena kondisi aja yang gak memungkinkan. *dibaca:irit*

Saya baru mengerti sekarang konsep pawang hujan. Ya, karena acara resepsi saya adalah di outdoor, was-wasnya jadi dobel-dobel. Apalagi, sampai sehari sebelum acara itu, Jakarta non-stop hujan bahkan sampai banjir di beberapa tempat. Kalau Berry sih sampai H-1 masih yakin acara akan berjalan lancar tanpa turun hujan. Kalau mama, ya gak usah ditanya lah ya, paniknya triple dari paniknya saya. Kalau vendor-vendor, dari mulai komen “Gak lah mbak, kan kita sudah sama-sama doa, mudah-mudahan hujannya gak turun dan acara lancar.”, sampai di H-1 komen doi berubah jadi “yaudah mbak, anggep aja kalau memang turun hujan itu berkah dari Allah” (sambil tertunduk lemas). Dan saya sebagai yang gampang banget ditularin panik, paniklah langsung. Akhirnya Berry memutuskan untuk memakai pawang hujan.

Lalu bagaimana acara saya? Alhamdulillah lancar selancar-lancarnya tanpa hujan. Pagi hari sebelum akad memang sempat gerimis kecil. Tapi dari mulai akad sampai malam saat resepsi, aman tanpa hujan, plus angin dingin, plus banyak bintang.

Dan setelah selesai acara saya ngobrol-ngobrol sama Berry, saya jadi sadar, bagaimanapun yang terjadi itu kuasa Tuhan bukan kuasa pawang hujan. Kapanpun Tuhan mau hujan turun, mau pakai pawang secanggih apapun dan sebanyak berapapun, ya pasti akan turun juga hujannya. Dan kalau acara saya kemarin sampai lancar dan cuaca mendukung itu ya berkat doa saya, doa Berry, doa orang tua dan doa orang-orang sekitar yang sayang sama kami berdua.

Lalu dimana esensi pawang hujannya? Pawang hujannya menurut saya itu bagian dari rencana Tuhan. Dikirimkan Tuhan untuk menenangkan hati saya dan mama. Coba bayangin gimana kalau saya gak pake pawang kemarin? Pasti saya juga gak tenang, panik berlebihan, stres dan malah bisa membuat rusak suasana. Dan mungkin juga doa si pawang ikut melengkapi rangkaian doa dari kami semua. Jadi, si pawang juga sama besar jasanya di acara saya kemarin.

Lalu, godaan dari mantan terjadi untuk beberapa orang termasuk saya. Godaan disini bukan dalam arti godaan iman untuk balik lagi ke mantan dan membatalkan rencana pernikahan ya. Percayalah, hal-hal kayak gitu itu cuma terjadi di sinetron-sinetron dan bukan di kehidupan nyata. Maksud saya godaan mantan itu adalah entah kenapa setiap saya mau hidup tenang tanpa diusik-usik, selalu saja muncul lagi, muncul lagi dan muncul lagi. Bukan apa-apa, saya itu termasuk orang yang males banget direcokkin sama urusan masa lalu, apalagi kalo masa lalunya gak nyenengin.

Lalu untuk menghadapi orang-orang seperti itu, untuk saya, sama halnya seperti kita menghadapi bangkai tikus. Gali tanah, masukkan bangkai, tutup kembali tanahnya, beli bunga, tabur bunga di kuburan tikus itu sambil berdoa semoga arwahnya tenang di alam lain. Amin.

Tuhan memang mengirimkan kita banyak orang di sekeliling kita, that’s what we called them friends. Tapi, yang dekat di hati boleh kita pilih-pilih kok. Dari mulai persiapan sampai acara, saya seperti makin dipermudah jalannya untuk memilih, makin diperlihatkan mana yang memang benar-benar layak tinggal di hati, mana yang lebih baik cuma sebatas senyum dan basa-basi basi saja. Pilihlah teman-teman yang mendukung di segala hal. Misalnya teman yang : selalu ada untuk kita dengan tulus, tidak mendominasi, tidak self-centered, tidak menambah emosi.

Ya kalau ada yang bertemu orang-orang seperti ini, senyumin saja, pelan-pelan menjauh, dan some things are better left unfinished kok.

Sejauh ini saya merasa sudah memilih partner hidup yang tepat. Kenapa? Kalau kata orang-orang, persiapan pernikahan itu ujian hubungan banget, terus semakin terbukalah semua sifat buruk pasangan, terus bakal banyak ribut sama pasangan, alhamdulillah saya enggak. Bukan berarti gak ada masalah loh ya. Ada lah pasti, tapi masalah-masalah itu timbulnya bukan dari saya atau pasangan, dan kami menghadapinya dengan baik (in my opinion) tanpa ribut, tanpa diem-dieman. At the end, saya merasanya kalau saya dan Berry itu satu team yang hebat. We did it all great in so many ways

Sebagai wanita, menghadapi mama yang juga wanita, itu sama menyiksanya dengan menghafal rumus fungsi  kimia. Apalagi yang dipakai itu sama-sama hati. Pastilah banyak sekali drama yang terjadi. Jujur aja, saya sendiri sih sampai lupa apa-apa aja yang bikin kita berantem, debat, nangis-nangisan, tapi yang jelas at the end melihat mama yang seneng itu rasanya melebihi seneng yang kita sendiri rasain dan menambah rangkaian ungkapan syukur sama Tuhan.

Prinsip saya dan Berry dari awal adalah nothing is perfect. Termasuk menjalankan acara sebesar ini berdua dan menjalankan “langkah baru” di depan mata berdua. 

Dan mencoba untuk memenuhi keinginan SEMUA orang itu adalah TIDAK MUNGKIN. Dan kalau ada yang bilang, “mumpung bisa, ya lakukan saja yang paling baik, menyenangkan hati orang-orang”, itu bener banget kok, tapi batasan yang paling baik itu yang seperti apa? Kalau buat saya dan Berry, lakukan semua hal yang paling baik menurut batasan diri kita, jangan sampai melebihi batas kemampuan diri sendiri. And it works!

Dan dari semua hal, sampai detik ini, saya bersyukur gak putus-putus. Juga berterimakasih yang tak terhingga untuk semua orang yang sudah membantu saya dan Berry, orangtua, keluarga, sahabat-sahabat, vendor-vendor, dan semua orang lain yang tak terduga kehadirannya. Matur nuwun sanget, mugi Gusti Allah ingkang mbales. :)