Jadi, menikah itu rasanya lega.
Titik.
Kalau saya sih, merasanya,
setelah melewati segala rangkaian acara pernikahan mulai dari pengajian,
upacara adat, akad nikah, sampai resepsi, itu apa ya, semacam rangkaian
ungkapan syukur kepada Tuhan yang gak habis-habis.
Tapi yang jelas, ada beberapa hal di rangkaian menjelang acara ini yang saya rasa, Tuhan sengaja menunjukkan ke saya untuk pembelajaran. Dan itu yang
mau saya share di blog ini.
Bahwa :
Just follow your heart. Dulu di awal
saya juga banyak tanya kiri kanan gimana persiapan orang-orang, terus banyak searching dari internet tentang vendor ini itu, tentang konsep ini itu.
Tapi pada akhirnya, yang sreg di hati aja yang saya pilih. Orang lain boleh
banget kasih masukan, terima-terima aja, tapi kalau gak sesuai, ya jangan
diikutin. Karena at the end, rasanya
tuh beda antara menjalankan sesuatu berdasarkan pilihan orang dan pilihan hati sendiri.
Dulu
juga, waktu di awal, saya dan sahabat saya yang juga mau menikah di tahun yang
sama sempet bimbang, apakah mau pakai jasa wedding
organizer (WO) atau tidak. Bukan apa-apa, manusiawi banget kalau di
saat sudah mentok dan capek dan pusing sedangkan banyak banget yang masih harus
dilakuin, kita jadi kepengen banget rasanya ambil jalan pintas. Tapi kok ya
setelah disurvei kiri kanan, konsep WO kebanyakan itu gak sesuai kayak yang
kita mau. Jadi seolah-olah itu acaranya si WO bukan acara kita. Kalaupun total
mau ikut konsep kita, tetep kepentok budget tinggi dimana gak masuk akal banget
dan ya mau gak mau akhirnya balik lagi, harus ikut rule-nya
si WO. Dan akhirnya sekarang setelah saya ngerasain dan sudah jalanin semuanya all by ourselves, lagi-lagi, puasnya tak
terkira.
TAPI, bukan
berarti saya gak setuju ya sama konsep WO dan orang-orang yang pilih pake WO
dalam mempersiapkan acaranya. Mungkin kalau kondisi keuangan saya berlebih dan
waktu saya yang terbatas, saya juga akan pakai WO kok. Ya, ini sih balik
lagi, karena kondisi aja yang gak memungkinkan. *dibaca:irit*
Saya
baru mengerti sekarang konsep pawang hujan. Ya, karena acara resepsi saya
adalah di outdoor, was-wasnya
jadi dobel-dobel. Apalagi, sampai sehari sebelum acara itu, Jakarta non-stop
hujan bahkan sampai banjir di beberapa tempat. Kalau Berry sih sampai H-1 masih
yakin acara akan berjalan lancar tanpa turun hujan. Kalau mama, ya gak usah
ditanya lah ya, paniknya triple dari
paniknya saya. Kalau vendor-vendor, dari mulai komen “Gak lah mbak, kan kita
sudah sama-sama doa, mudah-mudahan hujannya gak turun dan acara lancar.”, sampai
di H-1 komen doi berubah jadi “yaudah mbak, anggep aja kalau
memang turun hujan itu berkah dari Allah” (sambil tertunduk lemas). Dan saya
sebagai yang gampang banget ditularin panik, paniklah langsung. Akhirnya Berry
memutuskan untuk memakai pawang hujan.
Lalu bagaimana
acara saya? Alhamdulillah lancar selancar-lancarnya tanpa hujan. Pagi hari
sebelum akad memang sempat gerimis kecil. Tapi dari mulai akad sampai malam
saat resepsi, aman tanpa hujan, plus angin dingin, plus banyak bintang.
Dan setelah
selesai acara saya ngobrol-ngobrol sama Berry, saya jadi sadar, bagaimanapun
yang terjadi itu kuasa Tuhan bukan kuasa pawang hujan. Kapanpun Tuhan mau hujan
turun, mau pakai pawang secanggih apapun dan sebanyak berapapun, ya pasti akan turun juga hujannya. Dan kalau acara saya kemarin sampai lancar dan
cuaca mendukung itu ya berkat doa saya, doa Berry, doa orang tua dan doa orang-orang
sekitar yang sayang sama kami berdua.
Lalu dimana
esensi pawang hujannya? Pawang hujannya menurut saya itu bagian dari rencana
Tuhan. Dikirimkan Tuhan untuk menenangkan hati saya dan mama. Coba bayangin gimana kalau saya gak pake pawang kemarin? Pasti saya juga
gak tenang, panik berlebihan, stres dan malah bisa membuat rusak suasana. Dan mungkin juga doa si pawang ikut melengkapi rangkaian doa dari kami semua. Jadi,
si pawang juga sama besar jasanya di acara saya kemarin.
Lalu, godaan
dari mantan terjadi untuk beberapa orang termasuk saya. Godaan disini bukan
dalam arti godaan iman untuk balik lagi ke mantan dan membatalkan rencana
pernikahan ya. Percayalah, hal-hal kayak gitu itu cuma terjadi di
sinetron-sinetron dan bukan di kehidupan nyata. Maksud saya godaan mantan itu
adalah entah kenapa setiap saya mau hidup tenang tanpa diusik-usik, selalu saja muncul lagi, muncul
lagi dan muncul lagi. Bukan apa-apa, saya itu termasuk orang yang males banget direcokkin sama urusan masa lalu, apalagi kalo masa lalunya gak nyenengin.
Lalu untuk
menghadapi orang-orang seperti itu, untuk saya, sama halnya seperti kita menghadapi bangkai
tikus. Gali tanah,
masukkan bangkai, tutup kembali tanahnya, beli bunga, tabur bunga di kuburan tikus itu sambil berdoa semoga arwahnya tenang
di alam lain. Amin.
Tuhan
memang mengirimkan kita banyak orang di sekeliling kita, that’s what we called them friends. Tapi, yang dekat di hati boleh
kita pilih-pilih kok. Dari mulai persiapan sampai acara, saya seperti makin
dipermudah jalannya untuk memilih, makin diperlihatkan mana yang memang
benar-benar layak tinggal di hati, mana yang lebih baik cuma sebatas senyum dan
basa-basi basi saja. Pilihlah teman-teman yang mendukung di segala hal.
Misalnya teman yang : selalu ada untuk kita dengan tulus, tidak mendominasi, tidak self-centered, tidak menambah emosi.
Ya kalau ada
yang bertemu orang-orang seperti ini, senyumin saja, pelan-pelan menjauh, dan some things are better left unfinished
kok.
Sejauh
ini saya merasa sudah memilih partner
hidup yang tepat. Kenapa? Kalau kata orang-orang, persiapan pernikahan itu
ujian hubungan banget, terus semakin terbukalah semua sifat buruk pasangan,
terus bakal banyak ribut sama pasangan, alhamdulillah saya enggak. Bukan
berarti gak ada masalah loh ya. Ada lah pasti, tapi masalah-masalah itu
timbulnya bukan dari saya atau pasangan, dan kami menghadapinya dengan baik (in my opinion) tanpa ribut, tanpa
diem-dieman. At the end, saya
merasanya kalau saya dan Berry itu satu team
yang hebat. We did it all great in so
many ways.
Sebagai
wanita, menghadapi mama yang juga wanita, itu sama menyiksanya dengan menghafal rumus fungsi kimia. Apalagi yang dipakai
itu sama-sama hati. Pastilah banyak sekali drama yang terjadi. Jujur aja, saya
sendiri sih sampai lupa apa-apa aja yang bikin kita berantem, debat,
nangis-nangisan, tapi yang jelas at the
end melihat mama yang seneng itu rasanya melebihi seneng yang kita sendiri
rasain dan menambah rangkaian ungkapan syukur sama Tuhan.
Prinsip
saya dan Berry dari awal adalah nothing
is perfect. Termasuk menjalankan acara sebesar ini berdua dan menjalankan “langkah
baru” di depan mata berdua.
Dan mencoba untuk memenuhi keinginan SEMUA orang
itu adalah TIDAK MUNGKIN. Dan kalau ada yang bilang, “mumpung bisa, ya lakukan saja
yang paling baik, menyenangkan hati orang-orang”, itu bener banget kok, tapi batasan yang paling baik itu yang
seperti apa? Kalau buat saya dan Berry, lakukan semua hal yang paling baik menurut
batasan diri kita, jangan sampai melebihi batas kemampuan diri sendiri. And it works!
Dan dari semua hal, sampai detik
ini, saya bersyukur gak putus-putus. Juga berterimakasih yang tak terhingga untuk
semua orang yang sudah membantu saya dan Berry, orangtua, keluarga, sahabat-sahabat, vendor-vendor, dan semua orang lain yang tak terduga kehadirannya. Matur nuwun sanget, mugi Gusti Allah
ingkang mbales. :)