Wednesday, May 11, 2011

Ballad of Supir Angkutan Umum

Ini cerita tentang sebuah perjalanan pulang kantor.

Sore ini di sebuah mobil angkutan umum yang supirnya belum akan jalan kalau penumpangnya belum teriak-teriak "woii bang, jalan bang, udah kayak sarden ini", saya bergabung (sebagai salah satu sarden di dalamnya). Secara pandangan mata saya, supir angkutan umum ini berbadan besar (oke, kalo rela, sebut aja dia gembul), dengan rambut cepak, berumur sekitar 20 tahun-an tampaknya, dan berwajah seperti bayi yang sungguh sangat kontras dengan besar badannya, dan kalau boleh menggambarkan sedikit kebiasaan dia saat menyetir adalah menggaruk-garukkan kepalanya terus menerus, membuat ibu-ibu yang duduk di belakangnya dengan sigap langsung mengambil masker dari dalam tas dan dengan segera memakai masker tersebut.

Dan lupakan soal fisik si supir. Yang mau saya bagi di sini adalah perilakunya dalam menyetir. Hmm, yang pertama, saya bukan supir dan tidak bisa menyetir, jadi saya tidak bisa men-judge secara pasti mana sikap yang benar mana sikap yang salah dalam menyetir. Yang kedua, saya juga bukan polisi, jadi saya tidak tahu persis undang-undang dan tata tertib berkendara di jalan. Tapi, sebagai manusia yang punya mata, hati dan pikiran, saya cukup tahu kalau supir ini edan.

Kenapa saya bilang seperti itu?

Pertama, sepanjang jalan, dalam jangka waktu kurang dari 30 menit, sudah hampir seluruh nama penghuni kebun binatang dia sebutkan ke orang-orang yang menegur cara dia menyetir yang ngebut dan seenaknya sendiri. Saya perjelas, hampir semua nama penghuni kebun binatang, kecuali binatang-binatang manis seperti lumba-lumba atau anjing pudel ya.

Kedua, berdasarkan pandangan mata terhadap orang-orang sekitar, 1 dari 12 orang yang tidak mengelus dada dan meringis setiap si supir ngebut lalu ngerem mendadak. 12 orang itu adalah seluruh penghuni angkutan umum itu (karena empat-enam plus dua kursi kecil maut di dekat pintu) dan 1 orang yang tidak mengelus dada dan tidak meringis itu adalah seorang ibu berjilbab. Apakah ibu itu tidak punya perasaan sampai-sampai tidak bisa merasakan ke-edan-an si supir? Tentu tidak. Ibu itu adalah seorang tuna netra, sehingga dia tidak bisa melihat dengan matanya kelakuan edan si supir

Ketiga, saya tidak tahu persis sih nama kelompok manusia dimana saat dia salah, kok malah lebih galak dia daripada si korban. Tapi yang jelas, si supir masuk ke dalam jenis manusia tersebut. Saat dia menyalip antrian panjang kendaraan yang memang macet itu, dia menyalip dari samping kanan yang seharusnya adalah jalur balik kendaraan. Sampai pada akhirnya dia bertemu bis besar dari arah sebaliknya dan "ciiiiiiiiit" lagi-lagi rem yang luar biasa mendadak. Bagaimana keadaan supir bis? Tentu saja supir bis marah besar sambil menurunkan kaca jendelanya dan memaki-maki supir angkutan umum ini. Dan sekali lagi, supir angkutan umum yang saya tumpangi ini menjawab dengan kata-kata kasar (tidak lupa diawali dengan menyebut salah satu nama binatang berkaki empat yang menggonggong) dan dilanjutkan dengan kalimat "ya bapak udah tau bis itu besar, kenapa lewat sini?". Sungguh kalimat yang dilihat dari segi tata bahasa tidak ada keterkaitannya pada antar kalimat. Akhirnya supir bis yang (syukurlah) masih waras mengalah dan menutup kaca jendelanya.

Dan ini klimaksnya. Di tengah perjalanan, ibu tuna netra memberitahu dia dimana ibu tersebut akan turun. Si supir cuma menjawab "ya" dengan ketus dan singkat, entah dia sedang emosi atau sudah capek berbicara karena kebanyakan bicara tadi (kita kan tidak boleh berburuk sangka, ya). Sampailah di suatu tempat di mana mobil angkutan umum ini berhenti dan si supir membuka pintu, lalu keluar dari tempat duduknya. Kami semua sudah menghela napas kesekian kalinya, entah ulah apa lagi yang akan dia perbuat kali ini. Dan tiba-tiba dia beralih ke pintu keluar penumpang mobilnya dan bilang ke ibu tuna netra "bu, kita sudah sampai", lalu membantu si ibu turun dan menuntun ibu tersebut sampai ke pangkalan ojek tidak jauh dari situ. Adegannya tidak berhenti sampai di situ, saat ibu tuna netra menyerahkan beberapa lembar uang dari dompetnya, si supir cuma bilang dengan singkat "udah gak usah, bawa aja". Dan semua hal tersebut jangan dikira dilakukan dengan tampang yang ramah melainkan dengan tampang datar tak berekspresi.

Kami semua yang di dalam mobil cuma terkesima melihat rentetan kejadian barusan. Oh, tapi tidak lama, karena sesaat setelah naik kembali ke kursi depan, si supir langsung ngebut lagi dan masih sambil mengabsen penghuni kebun binatang lainnya yang belum disebut tadi sepanjang perjalanan.

Hmm, apa ya inti dari cerita ini? Silahkan menyimpulkan sendiri. Tapi kalau buat saya, ada banyak hal yang bisa dipelajari setiap hari dari sekitar kita. Jangan pernah menilai hati seseorang kalau kita cuma bisa melihat hanya dengan mata.

No comments:

Post a Comment