Sunday, December 30, 2012

Some Things Are Better Left Written

Saya suka menulis. Dan menurut saya, ada beberapa hal, yang lebih baik disampaikan lewat tulisan ketimbang berbicara. Lebih tercapai tujuannya.

Beberapa masalah dengan sahabat, pacar, keluarga, bahkan mantan, saya selesaikan lewat tulisan. And it works for me!

Ya meskipun ada juga beberapa hal yang butuh penyelesaian cepat, akan lebih efektif disampaikan secara langsung.

Tapi untuk hal-hal yang sifatnya personal, menurut saya, lebih mengena di hati jika disampaikan lewat tulisan.

Surat. Ya, meskipun metode komunikasi ini sudah tergeser dengan teknologi yang lain yang lebih maju, saya tetap menganggap menulis surat itu salah satu cara berkomunikasi yang efektif. Terutama ya itu tadi, untuk masalah-masalah yang sifatnya personal.

Saya mulai suka surat menyurat ketika di SMA dulu. Teman-teman saya di Tarki juga pasti familiar sekali dengan bagaimana dulu surat menyurat menjadi cara berkomunikasi yang umum dengan teman satu angkatan, adik kelas maupun kakak kelas dalam satu ekskul yang sama. Suratnya dihias-hias. Bahkan dulu saya punya satu tempat pensil besar yang isinya spidol, stabilo, maupun pensil warna berbagai jenis, khusus untuk menghias surat.

Dari situ saya mulai bereksplorasi dengan tulisan dalam sebuah surat. Saya mulai menyadari, menulis surat itu salah satu cara berani jujur dalam berhubungan. Karena melalui surat saya lebih bebas menuangkan apapun isi hati dan pikiran saya. Ungkapan sayang, senang, bangga, bahkan marah juga bisa disampaikan secara jujur melalui surat dalam cara yang tidak membuat situasi menjadi 'panas'.

Sampai detik ini saya masih suka menulis surat, terutama untuk keluarga, pacar serta sahabat.

Apalagi menjelang pergantian tahun. Bersama beberapa sahabat dekat, bertahun-tahun belakangan ini saya selalu rutin bertukar surat. Isinya? Mulai dari review hal-hal yang terjadi setahun kemarin, uneg-uneg terhadap satu sama lain, resolusi yang ingin dicapai di tahun mendatang, serta ungkapan syukur untuk masih saling memiliki satu sama lain dan hal-hal baik lain yang terjadi di hidup kami.

Lengkap kan? Dalam satu paket tulisan, saya mendapat banyak hal. Dan sampai detik ini pun semua surat ini saya kumpulkan rapi di satu amplop besar. Dan sampai detik ini juga, setiap menerima surat baru atau membaca lagi surat-surat lama yang ada, saya sukses bisa tertawa dan menangis terharu dalam satu waktu.

And hopefully, this good thing will be last forever in my life.


Wednesday, December 19, 2012

Nothing is Coincidence

Have you ever been in a situation that makes you not become yourself? Well said, you pretended to be nice to a person you don't really like so much?

Well, berdasarkan pengalaman saya selama hidup lebih dari seperempat abad ini ya, berlaku itu seporsinya. Merasa juga seporsinya.

Prakteknya? Tentu susah.

Cuma ingat saja satu rule ini. Saat kita berlaku untuk orang lain, pertama kali pikirkan, apa yang terjadi saat kita berada di posisinya, menerima perlakuan dari orang lain yang menyerupai perilaku kita itu. Apa feedback yang akan kita lakukan untuknya?

Kalau jawabannya, biasa saja. Maka berlakulah secara biasa saja. Kalau jawabannya kira-kira mereka akan memberi well appreciation, so act well.

Bagaimana cara meramalkan feedback itu? Mengamati, mengingat, lalu menganalisa. Kalau masih kesulitan, kuliahlah di teknik industri maka anda akan mempelajari mata kuliah forecasting, atau bekerjalah sebagai orang market research, maka anda akan jadi terbiasa menganalisa peilaku. Hehe.

Tapi bagaimana dengan perbuatan baik? Katanya berbuat baik itu kan harus tanpa pamrih. Ya sebaiknya sih begitu. Dengan catatan, kalau bisa. Kalau saya sih, sebagai manusia normal dengan batas kesabaran yang masih ada nilainya, ikuti saja waktu berjalan. Saatnya kita bisa memberikan banyak tanpa harap imbalan perbuatan setimpal, ya berilah. Tapi saat masih penuh ego, ya jangan dipaksakan. Toh sesuatu yang dipaksakan malah bisa berdampak lebih buruk.

Tinggal bagaimana berdoa kepada Tuhan, supaya apapun yang kita lakukan sesuai dengan ridho-Nya.

Dan ini yang saya bicarakan semua hukumnya relatif kok. Kalau ada yang kurang setuju, boleh-boleh saja.

Percaya saja, nothing is coincidence in God's plan. Termasuk pertemuan dengan orang-orang yang tidak kita harapkan tersebut. Suatu saat nanti, kita hanya akan memaklumi dan bergumam "iya juga ya" saat situasi sudah berbeda.

Dan mengutip kalimat indah dari Pidi Baiq : biarkan pikiran terus melangit asalkan hati tetap membumi.

Salam super! :p

Thursday, December 13, 2012

Aku dan Sepatuku

Ide cerita ini datang tiba-tiba saat kerjaan lagi sedikit-sedikitnya, dan memandangi kolong meja melihat kaki dan sepatu.

Menurut saya, kaki dan sepatu wanita itu erat hubungannya dengan hubungan pribadi wanita itu sendiri. Terutama dilihat dari tinggi haknya.

Begini, misalnya sepatu ber-hak rendah, flat shoes, atau sepatu keds. Kalau untuk saya sendiri sih, flat shoes itu sepatu paling nyaman sedunia. Bisa digunakan dalam kondisi apapun, santai, semi-resmi, resmi. Dipakai anak kecil, orang dewasa, ibu hamil, oma-oma, semua aman. Sesuka-sukanya saya dengan sepatu jenis lain, tetap saja akan kembali ke flat shoes.

Tapi meskipun terlihat manis, tetap saja kurang anggun.

Sama seperti hubungan dengan keluarga inti dan sahabat. Meskipun kadang ada berantem-berantem yang membuat hubungan jadi renggang beberapa saat tapi tetap saja kita akan selalu kembali kepada mereka. Keluarga inti dan sahabat itu tempat paling aman kita akan kembali sejauh apapun kita berjalan.

Ada juga sepatu ber-hak sedang. Sepatu ini buat saya kelihatannya memang lebih anggun dari flat shoes. Kenapa? Karena kaki kita dipaksa untuk berjalan lebih anggun dari biasanya. Aman juga dipakai dalam berbagai keadaan.

Menurut saya ini seperti hubungan dengan pacar. Kadang kita dipaksa mengubah sifat kita untuk bisa menyesuaikan diri dengan pacar. Pacar yang baik tentu membawa perubahan yang terlihat baik juga untuk diri kita. Pacar yang baik juga selalu membuat nyaman di segala kondisi.

Ada juga sepatu ber-hak runcing. Sepatu ini membuat wanita terlihat dua kali lebih anggun, tapi siksaan saat menggunakannya juga dua kali lipat lebih besar. Sepatu ini untuk saya cuma cocok di acara resmi. Saya sendiri cuma punya sedikit sekali, sebagai syarat kelengkapan seorang wanita. Bahkan sudah malas menggunakannya bahkan di acara resmi sekalipun.

Ini seperti hubungan dengan mantan pacar. Mantan yang tidak baik tentunya. Dulu waktu masih berhubungan, semua terlihat serba indah dan sempurna. Bahkan sampai rela mengingkari bahwa siksaan batinnya juga luar biasa. Hanya bisa menyambung di kondisi tertentu. Dan kalau bisa sekarang sudah tidak perlu diingat-ingat lagi.

Ada juga sepatu wedges atau sepatu ber-hak tebal. Sepatu ini sih kalau menurut saya mengingkari kodratnya. Mau membuat yang memakai terlihat tinggi dengan kenyamanan seperti menggunakan flat shoes. Dan bentuknya pun lebih banyak yang aneh daripada yang cantik, menurut saya. Kalau menggunakan sepatu ini harus menjaga keseimbangan dengan baik. Karena kalau sampai slip, bisa menyebabkan cedera otot.

Ini seperti hubungan dengan saudara dari keluarga besar. Kodratnya dekat. Bukan dekat sekali atau akrab sekali. Dan meskipun dekat, juga tetap harus hati-hati dalam berhubungan. Namanya juga manusia, bisa saja suatu saat khilaf dan menyakiti. Dan bagi pihak yang disakiti, rasanya luar biasa sakit daripada sekedar disakiti teman atau orang 'luar'. Ya karena ekspetasinya tidak sesuai bayangan. Apalagi masih harus tetap rutin bertemu di acara-acara tertentu. Mangkel kan pasti.

Ya ini semua hanya pendapat saya. Have a good relationship. :)

Friday, December 7, 2012

Semua Ada Di Sini

Ini cerita tentang stasiun kereta. Tempat dimana sekarang ini hari-hari saya dihabiskan di tempat ini.

Semua ada di sini. Mulai dari penumpang kereta kelas ekonomi. Isinya? Pekerja kantoran, pedagang grosir beserta kardus-kardusnya, tukang sayur, tukang ayam beserta ayam-ayamnya.

Ada juga penumpang kereta commuter. Yang isinya pekerja kantoran beraneka jenis. Ada pegawai negeri sekali itu yang seragamnya khas. Ada juga pekerja kreatif yang dandanannya sekreatif gelarnya. Ada juga pekerja kantoran yang baik dan tidak sombong seperti saya. Hehe.

Dan di stasiun pula saya bisa menemukan pedagang-pedagang aneka rupa. Ada yang menjual suaranya. Ada yang menjual keterbatasan fisiknya. Ada yang menjual iba melalui anak (entah siapa) yang digendong-gendong dengan tatapan maut ala puss in boots.

Belum lagi penjual barang-barang yang akan membuat anda sebagai yang pertama kali mempunyai pengalaman baru menjadi sama noraknya dengan saya karena kagum sekali. Barang-barang yang saya maksud misalnya adalah : jas hujan dari kantong kresek yang biasa kita bawa dari pasar saat menenteng sayur. Atau bando telinga kelinci yang bisa nyala ala lampu pohon natal karena ada baterainya.

Dan jangan salah, di stasiun juga banyak anak sekolah. Mulai dari anak yang masih diperhatikan dengan baik oleh orangtuanya, oleh pembantunya, bahkan oleh tukang ojek komplek. Yang ini bisa dilihat dari siapa yang mengantarnya.

Berada di lingkungan beraneka ragam tersebut membuat saya mempunyai cerita setiap harinya untuk dibagi kepada keluarga dan orang-orang di sekitar saya.

Membuat hidup jadi lebih berarti. Lebih bersyukur jika melihat mereka yang keadaannya tidak lebih baik dibandingkan saya. Lebih meningkatkan motivasi jika melihat mereka yang keadaannya lebih baik daripada saya.

Sayangnya hanya satu. Kenapa ya fasilitas transportasi ini tidak didukung lebih baik lagi oleh negara? Padahal di negara maju, transportasi kereta yang dikembangkan dengan baik. Tidak ada lagi stres karena macet di jalan. Kerja jadi lebih produktif karena efisiensi waktu dan tenaga serta pikiran.

Dan terutama, kalau saja transportasi kereta dikembangkan dengan baik, cerita saya akan jadi lebih penuh warna.